Laman

Sabtu, 08 Mei 2010

PENTINGNYA KEUTUHAN IDEOLOGI DALAM FORMALISASI SYARIAH ISLAM

PENTINGNYA KEUTUHAN IDEOLOGI DALAM FORMALISASI SYARIAH ISLAM

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Doktrin "Islam Substantif" : Penghambat Syariah

Salah satu hambatan besar penerapan syariah Islam adalah doktrin "Islam substanstif". Doktrin yang sengaja dilontarkan kaum liberal-sekular sejak abad ke-19 M ini mengatakan ajaran Islam dibedakan menjadi dua. Pertama, ajaran yang dianggap tetap dan universal, yang sering disebut dengan substansi (intisari). Fazlur Rahman menyebutnya "ideal moral". Kedua, ajaran yang dianggap temporal dan lokal, yang karenanya bisa berubah-ubah sesuai konteks waktu dan tempat. Bagian ajaran ini oleh Fazlur Rahman disebut ketentuan "legal spesifik". (Fazlur Rahman, 1992:21). Contohnya, hukum potong tangan. Susbtansi hukum ini, kata mereka, adalah agar menimbulkan efek jera. Potong tangan hanya dianggap ketentuan temporal, yang konon kebetulan cocok dengan masyarakat nomaden di masa Nabi SAW. Maka, hukum potong tangan bisa diganti hukuman penjara, karena konon yang penting adalah substansinya, yakni menimbulkan efek jera kepada pelakunya. (Mahmud dkk, 2005:184; Coulson, 1990:174; Watt, 1997:226).

Doktrin "Islam subtantif" ini sebenarnya bagian dari agenda "pembaruan" (modernisme) yang melanda Dunia Islam pada abad ke-19, dengan tokoh-tokoh awalnya seperti seperti Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Ameer Ali (w. 1928), dan Qasim Amin (w. 1908). Namun trend modernisme di Dunia Islam ini pun sebenarnya hanya kelanjutan dari trend modernisme sebelumnya yang terjadi di Barat. Baik di kalangan Yahudi dengan tokohnya semisal Steinheim (w. 1866) dan Holdheim (w. 1860), maupun di kalangan Kristen (Katolik/Protestan) dengan tokohnya semisal George Tyrell (w. 1909) dan August Spateah (w. 1901). (Said, 1995:99-126).

Apa gagasan dasar modernisme itu? Dalam Encyclopedia Americana (V/29) disebutkan bahwa modernisme adalah pandangan (visi) bahwa ajaran agama ortodoks harus ditafsirkan menggunakan pemahaman filsafat dan pemikiran kontemporer. Dengan kata lain, modernisme merupakan suatu usaha untuk menundukkan ajaran agama di bawah peradaban dan ideologi Barat (sekularisme). (Said, 1995:101). Jadi, ideologi Barat adalah standar yang tetap dan tidak berubah-ubah. Sementara ajaran agama (termasuk Islam) adalah variabel yang bisa berubah-ubah, yang harus ditundukkan dan disesuaikan dengan ideologi Barat itu.

Dengan demikian, nampak jelas terdapat benang merah antara doktrin "Islam substantif" dengan gagasan modernisme. Apa yang disebut substansi dalam doktrin "Islam substantif", sebenarnya hanya ungkapan halus atau ambigu untuk ideologi Barat, yang dijadikan standar baku untuk mengukur salah benarnya --atau relevan tidaknya-- ajaran/hukum Islam. Sedangkan apa yang disebut legal spesifik, sebenarnya adalah hukum Islam yang mestinya wajib diterapkan, tapi kemudian dijadikan objek permainan intelektual untuk dibongkar dan diubah-ubah agar sesuai dengan ideologi Barat.

Tujuan doktrin "Islam substantif" di satu sisi adalah untuk mementahkan dan melumpuhkan gagasan formalisasi Syariah (penerapan syariah oleh negara). Di sisi lain, doktrin itu bertujuan untuk melestarikan sistem kehidupan sekular yang dipaksakan oleh penguasa agen Barat di Dunia Islam saat ini.

Jadi, doktrin "Islam substantif" ini sungguh sangat jahat dan berbahaya, karena menjadi hambatan besar penerapan Syariah Islam. Perjuangan suci untuk melaksanakan formalisasi syariah itu, akan dimentahkan seenaknya dengan kalimat yang selalu nyaris klise. Misalnya, dikatakan bahwa yang penting bukanlah legal formal (penerapan syariah), melainkan substansi nilai-nilai Islam, seperti keadilan, persamaan, kemanusiaan, kedamaian, dan seterusnya. (Mas'ud, 2006:xv).

Implikasi doktrin "Islam substantif" tentu mudah ditebak. Kalau formalisasi syariah sudah dimentahkan, maka ujung-ujungnya adalah penolakan perlunya negara Khilafah yang berfungsi untuk melaksanakan formalisasi syariah secara utuh.

Perlunya Keutuhan Ideologi dalam Formalisasi Syariah

Seperti dijelaskan oleh Ustadz Ahmad Al-Mahmud dalam kitabnya Ad-Da'wah ila Al-Islam (1995:77), bahwa Barat telah melancarkan perang pemikiran (al-ghazw al-fikri) yang bertujuan untuk menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang sahih. Hasil dari serangan ini adalah umat Islam telah mentakwilkan Islam agar sesuai dengan pemikiran Barat yang lahir dari ide sekularisme.

Apa yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni gagasan "Islam substantif", merupakan contoh nyata dari bentuk perang pemikiran yang dimaksudkan Ustadz Ahmad Al-Mahmud tersebut. Untuk menghadapi serangan ini, menurut Ustadz Ahmad Al-Mahmud umat Islam perlu memahami ideologi Islam secara utuh, yaitu sebagai kesatuan yang tak terpisahkan yang tersusun dari fikrah (ide) dan thariqah (metode pelaksanaan ide). (Al-Mahmud, 1995:70-73).

Yang dimaksud dengan fikrah adalah Aqidah Islam, dan berbagai pemikiran dan hukum yang lahir dari Aqidah Islam itu. Misalnya hukum-hukum yang mengatur ibadah, muamalat, makanan, pakaian, dan akhlaq. Sedang thariqah, adalah hukum-hukum Islam yang berfungsi untuk mewujudkan, memelihara, atau menyebarkan thariqah fikrah itu. Contoh : Islam telah menerangkan bahwa zina hukumnya haram (fikrah) (QS Al-Isra` : 32). Namun tak sekedar menetapkan fikrah, Islam juga menetapkan thariqah agar zina benar-benar dapat dicegah, yaitu menetapkan hukuman cambuk bagi para pezina (QS An-Nuur : 2), dan menentukan pelaksana hukuman ini adalah Imam (Khalifah). Islam telah menetapkan sholat itu hukumnya wajib (fikrah). Tak hanya menetapkan fikrah, Islam juga menetapkan hukuman oleh negara bagi orang yang tidak melaksanakan sholat (thariqah). Islam juga telah menetapkan mencuri itu hukumnya haram (fikrah), dan sekaligus menetapkan thariqah untuk mewujudkan fikrah itu, yaitu hukuman potong tangan yang akan dijalankan oleh negara (QS Al-Maidah : 38). Ringkasnya, setiap ada suatu hukum yang ditetapkan Islam, Islam juga menetapkan hukum lain sebagai metode pelaksanaannya (thariqah at-tanfidz) serta menetapkan Imam (Khalifah) adalah pemilik wewenang dalam pelaksanaannya dalam sebagian besar kasus. (Al-Mahmud, 1995:72-73).

Konstruksi ideologi Islam yang utuh sebagai fikrah dan thariqah ini, mutlak diperlukan sebagai upaya untuk menghadang serangan perang pemikiran yang dilancarkan Barat, seperti doktrin "Islam substantif". Doktrin palsu ini jelas bertujuan untuk menghancurkan ideologi Islam, dengan cara mereduksi total ajaran Islam hanya sebatas fikrah, seraya menghapuskan atau mengubah thariqah dengan dalih tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Artinya, doktrin ini mengubah thariqah agar sesuai dengan sistem sekular yang sedang diterapkan. Hukum potong tangan, misalnya, dianggap kejam dan biadab, sehingga boleh saja diganti dengan penjara atau denda finansial. Jihad sebagai upaya penyebaran Islam, dianggap tak relevan lagi, sehingga boleh saja diganti dengan upaya dakwah lewat radio dan televisi. Negara Khilafah juga dianggap ketinggalan zaman, dan bisa diganti dengan sistem republik. Karena yang penting katanya adalah penerapan nilai-nilai Islam, dan seterusnya. (Al-Mahmud, 1995:72-73).

Itu adalah contoh-contoh yang menunjukkan, ketika ideologi Islam hanya dipahami sebatas fikrah saja, dengan menghapus atau mengubah thariqah-nya, maka formalisasi syariah akan menjadi tidak mungkin atau minimal cacat. Jelaslah bahwa formalisasi syariah harus berbekal pemahaman ideologi Islam yang utuh, baik fikrah maupun thariqah-nya.

Selain itu, ide "Islam substantif" yang menghambat penerapan Syariah harus dijelaskan pula kekeliruannya. Apa yang diajarkan doktrin ini bahwa hukum Islam dapat berubah-ubah sesuai waktu dan tempat, adalah jauh dari kebenaran, seperti jauhnya bumi dan langit. Kaidah "laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyur az-zaman wa al-makan" (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat), merupakan kaidah yang keliru, yang dirumuskan ketika umat Islam mengalami kemerosotan pemikiran yang paling parah pada abad ke-19.

Dalam konteks inilah, Imam Ibnu Hazm menegaskan, "Jika terdapat nash Al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah tetap dalam urusan tertentu yang hukumnya tertentu pula, maka yang benar adalah, nash itu tidak terpengaruh oleh pergantian tempat maupun perubahan keadaan. Sesungguhnya apa yang telah tetap itu, akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat, dan setiap keadaan, sampai ada nash lain yang datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu yang lain, tempat yang lain, dan keadaan yang lain pula." (Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, 5/771).

Perlunya Negara Khilafah dalam Formalisasi Syariah

Formalisasi syariah artinya penerapan syariah oleh negara. Istilah teknisnya dalam fiqih adalah tabanni al-ahkam, atau sann al-qawanin, atau taqnin al-syariah (Arifin, 1996:49; Mufti & Al-Wakil, 1992:40).

Kesadaran umat Islam di berbagai negeri Dunia Islam untuk melakukan formalisasi syariah sebenarnya cukup signifikan. (Amal & Panggabean, 2004). Namun, sering kali upaya ini menghadapi hambatan atau tantangan, misalnya kekhawatiran kaum liberal terhadap Syariah (Nashir, 2007: 598), atau ketidakjelasan model negara seperti apa yang dapat diharapkan melakukan formalisasi syariah. (Al-Jufri dkk, 2004).

Padahal, sudah jelas, negara bangsa (nation state) saat ini tidak mungkin diharapkan menjalankan formalisasi syariah. Sebab negara bangsa didirikan atas dasar ideologi sekularisme, yang tidak mentolerir formalisasi hukum Islam, kecuali secara parsial saja, seperti hukum perkawinan, perceraian, dan waris. Untuk kasus Indonesia, formalisasi syariah seutuhnya adalah mustahil, karena Indonesia menganut sistem hukum campuran (baca : sistem syirik), yang terdiri dari sistem hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat. (Rofiq, 2001:174).

Satu-satunya model negara yang layak untuk formalisasi syariah hanyalah Khilafah (Imamah) di bawah pimpinan Khalifah, bukan yang lain. Banyak ulama yang telah menegaskan keniscayaan ini.

Mahmud Al-Khalidi, misalnya, setelah menjelaskan wajibnya beberapa hukum seperti shalat, puasa, dan haji, menegaskan,"Karena itu, mengangkat seorang Khalifah atas umat ini adalah kewajiban yang mengikat, untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas kaum muslimin dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia." (Mahmud Al-Khalidi, Qawa'id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 249)

Dhiyauddin Ar-Rais dalam kitabnya Al-Islam wal Khilafah hal. 99 menegaskan,"Syariat Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah salah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan ia merupakan kewajiban terbesar (al-fardhu al-a'zham). Karena di atas kekhilafahan-lah bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya."

Jelaslah, formalisasi syariah yang seutuhnya perlu negara. Dan negara yang dimaksud tentu bukanlah sembarang negara, apalagi negara sembarangan, seperti model nation state saat ini yang merupakan hasil rekayasa penjajah yang kafir. Yang dimaksud, tentu negara Khilafah saja, bukan yang lain. Wallahu a'lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jufri, Salim Segaf dkk., 2004, Penerapan Syariat Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, (Jakarta : Global Media Publishing & Pusat Konsultasi Syariah).

Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da'wah ila Al-Islam, (Beirut : Daul Ummah).

Arifin, Busthanul, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prosesnya, (Jakarta : Gema Insani Press).

Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal, 2004, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta : Pustaka Alvabet).

Coulson, Noel J, 1990, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk, Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES).

Fazlur Rahman, 1992, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, (Bandung : Mizan).

Mahmud, Adnan dkk, 2005, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).

Mas'ud, Abdurrahman, 2006, dalam Suyuthi Pulungan dkk, Negara Bangsa Versus Negara Syariah, (Yogyakarta : Gama Media).

Nashir, Haedar, 2007, Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta : PSAP).

Rofiq, Ahmad, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media).

Said, Busthami Muhammad, 1995, Gerakan Pembaruan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : Wala Pess).

Watt, William Montgomery, 1997, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism & Modernity), Penerjemah Taufik Adnan Amal, (Jakarta : RajaGrafindo Persada).

MELUNASI UTANG DENGAN TAMBAHAN TANPA DISYARATKAN DI AKAD

MELUNASI UTANG DENGAN TAMBAHAN TANPA DISYARATKAN DI AKAD

Tanya :

bolehkah kita melunasi utang dengan memberikan tambahan uang tertentu, sebagai hadiah tanpa kita syaratkan di saat akad? Benarkah itu dibolehkan berdasar hadis,”Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya”? (Eri M, Yogyakarta)

Jawab :

Jika seseorang memberikan pinjaman (qardh) kepada orang lain dan mensyaratkan tambahan pada saat akad, tambahan ini hukumnya haram karena termasuk riba. Semua ulama sepakat akan keharamannya tanpa perbedaan pendapat. (Taqiyyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/343). Ibnu Qayyim berkata,”Riba ini disepakati keharaman dan kebatilannya. Keharamannya sudah diketahui dalam agama Islam seperti haramnya zina dan mencuri.” (Ighatsah al-Lahfan, 2/10). Ibnu Mundzir berkata,”Para ulama sepakat jika pemberi pinjaman mensyaratkan kepada peminjam tambahan atau hadiah…maka tambahan yang diambil itu adalah riba.” (Al-Ijma’, hal. 39).
Namun jika tambahan itu tak disyaratkan dalam akad, ada beda pendapat. Menurut Imam an-Nabhani, jika tambahan itu diberikan sebagai hadiah, hukumnya dirinci. Jika peminjam sudah biasa memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya boleh. Tapi jika tidak biasa, hukumnya haram. (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/343).

Dalilnya hadis dari Anas RA, dia berkata,”Seorang lelaki dari kami bertanya dia pernah memberi pinjaman (qardh) kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepadanya. Maka Anas RA berkata,’Nabi SAW bersabda,’ Jika salah seorang kamu memberikan pinjaman lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan di atas kendaraan, janganlah dia menaiki kendaraan itu dan jangan pula menerima hadiah itu, kecuali itu sudah pernah terjadi sebelumnya antara dia [pemberi pinjaman] dan dia [peminjam].” (HR Ibnu Majah). (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/341)
.
Sedangkan hadis,”Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya.” (HR Bukhari no 2306; Muslim no 1600), para ulama berbeda pendapat apakah dapat dijadikan dalil membolehkan tambahan atas utang tanpa disyarakan di akad. Sebagian ulama membolehkan, jika tambahan itu berasal dari inisiatif pihak yang meminjam. (Lihat Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Islamiyah, 2/414).

Namun sebagian ulama seperti Imam Taqiyuddin An-Nabhani tetap tak membolehkan. Pendapat ini lebih rajih (kuat) karena lebih sesuai dengan topik atau latar belakang hadis, yaitu Nabi SAW ditagih seseorang yang memberi pinjaman seekor unta kepada Nabi SAW. Beliau lalu menyuruh sahabat membelikan unta, tapi tak didapat kecuali unta yang lebih baik (lebih tua). Nabi SAW pun bersabda,”Belilah unta itu dan berikan kepadanya sebab sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya.” (HR Bukhari no 2306). Jadi, menurut Imam An-Nabhani, topik hadis ini adalah pelunasan utang yang baik (as-sadad al hasan), bukan pemberian tambahan dari jumlah utang yang dipinjam (ziyadah ‘amma ustuqridho). Yang terjadi adalah bertambahnya kualitas, bukan kuantitas.(Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/343).

Maka hadis ini tidak tepat dijadikan dalil untuk membolehkan tambahan dalam melunasi utang tanpa disyaratkan di akad. Jadi tambahan ini tetap haram kecuali jika peminjam sudah terbiasa memberi hadiah kepada pemberi peminjam. Wallahu a’lam. [ ]

Pangkalan Bun, 14 Maret 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

HUKUM ARAH KIBLAT

HUKUM ARAH KIBLAT

View Full Size ImageTanya :

Ustadz, benarkah arah kiblat telah bergeser? Sahkah sholat kita sementara kita belum tahu pergeseran arah kiblat itu? (Sukiyono, Pekanbaru)

Jawab :

Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan, menurut pakar astronomi ITB Dr. Moedji Raharto, hanya mengubah arah kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.

Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.

Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,"Para ulama sepakat menghadap kiblat wajib bagi yang melihat ka’bah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang]." (Maratibul Ijma’, hal. 11).

Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah (artinya),"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,"Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah." (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,"Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang]." (Fathul Bari, 1/501).

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : "Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,"Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah." (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,"Orang Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait)." (Al-Umm, 1/114).

Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (dalam salah satu riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).

Dalilnya sabda Nabi SAW,"Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat." (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Shan’ani menjelaskan,"Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), bukan menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah." (Subulus Salam, 1/134).

Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Ka’bah (jihat ka’bah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 25 April 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Jumat, 16 April 2010

Hukum Rokok

Tanya :

Ustadz, mohon penjelasan yang paling rajih tentang hukum merokok? (Afif, Amuntai. Rif'ah, Gresik)

Jawab :

Terdapat khilafiyah hukum rokok menjadi 3 (tiga) versi. Pertama, haram. Antara lain pendapat Muhammad bin Abdul Wahab, Abdul Aziz bin Baz, Yusuf Qaradhawi, Sayyid Sabiq, dan Mahmud Syaltut. Kedua, makruh. Antara lain pendapat Ibnu Abidin, Asy-Syarwani, Abu Sa’ud, dan Luknawi. Ketiga, mubah. Antara lain pendapat Syaukani, Taqiyuddin Nabhani, Abdul Ghani Nablusi, Ibnu Abidin, dan pengarang Ad-Durrul Mukhtar. (Wizarat al-Awqaf Al-Kuwaitiyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Juz 10, Bab "At-Tabghu"; Abdul Karim Nashr, Ad-Dukhan Ahkamuhu wa Adhraruhu, hal. 23; Ali Abdul Hamid, Hukm ad-Din fi al-Lihyah wa At-Tadkhin, hal. 42).

Menurut kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang memubahkan, kecuali bagi individu tertentu yang mengalami dharar (bahaya) tertentu, maka hukumnya menjadi haram bagi mereka.

Rokok hukum asalnya mubah, karena rokok termasuk benda (al-asy-ya`) yang dapat dihukumi kaidah fiqih Al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda mubah selama tak ada dalil yang mengharamkan). (Ibnu Hajar ‘Asqalani, Fathul Bari, 20/341; Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 60; Syaukani, Nailul Authar, 12/443). Maka rokok mubah karena tak ada dalil khusus yang mengharamkan tembakau (at-tabghu; at-tanbak).

Namun bagi orang tertentu, rokok menjadi haram jika menimbulkan dharar (bahaya) tertentu, sedang rokok itu sendiri tetap mubah bagi selain mereka. Dalilnya kaidah fiqih Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idza kaana dhaarran aw mu`addiyan ilaa dhararin hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Setiap kasus dari sesuatu (benda/perbuatan) yang mubah, jika berbahaya atau mengantarkan pada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap mubah). (Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/457). Berdasarkan ini, rokok haram hanya bagi individu tertentu yang terkena bahaya tertentu, semisal kanker jantung atau paru-paru. Namun tak berarti rokok lalu haram seluruhnya, tetapi tetap mubah bagi selain mereka.

Kriteria bahaya yang menjadikan rokok haram ada 2 (dua). Pertama, jika mengakibatkan kematian atau dikhawatirkan mengakibatkan kematian. Bahaya semacam ini haram karena termasuk bunuh diri (QS An-Nisaa` : 29). Kedua, jika mengakibatkan seseorang tak mampu melaksanakan berbagai kewajiban, semisal bekerja, belajar, sholat, haji, jihad, berdakwah, dll. Bahaya ini diharamkan berdasar kaidah fiqih al-wasilah ila al-haram haram (Segala perantaraan yang mengantarkan pada yang haram, hukumnya haram). (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, 2/155).

Jika bahaya belum sampai pada kriteria di atas, maka rokok tetap mubah. Namun lebih baik meninggalkan rokok. Sebab merokok (tadkhin) dalam kondisi ini (tak menimbulkan kematian atau meninggalkan yang wajib), adalah tindakan menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh.

Dalilnya, Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bernadzar akan berdiri di terik matahari, dan tidak akan duduk, berbuka pada siang hari (berpuasa), berteduh, dan berbicara. Nabi SAW bersabda,"Perintahkan ia untuk berteduh, berbicara, dan duduk, namun ia boleh menyempurnakan puasanya." (HR Bukhari). Dalil ini menunjukkan larangan menimbulkan bahaya pada diri sendiri. Namun karena larangan ini tidak tegas (jazim), maka hukumnya makruh, bukan haram. (M. Husain Abdullah, ibid, 2/147). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 27 Maret 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Senin, 12 April 2010

Hukum Syara' Pasti Membawa Maslahat

HUKUM SYARA' PASTI MEMBAWA MASLAHAT

Allah SWT berfirman dalam kitabNya:


“(Dan) tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi seluruh umat manusia” (QS Al Anbiyaa’: 107).

Maksud ayat diatas adalah bahwa Rasulullah saw telah datang dengan membawa syariat yang mengandung manslahat bagi manusia.

Begitu pula Firman Allah SWT:

“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yunus: 57).


“Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuham-mu sebagai petunjuk dan rahmat” (QS Al An’aam: 157).

Maksud dari “petunjuk” dan “rahmat” dalam ayat diatas adalah dengan membawa manfaat bagi manusia atau menjauhkan kemadlaratan dari dirinya. Inilah yang disebut “maslahat”. Sebab, arti dari maslahat adalah membawa kemanfaatan dan mencegah kerusakan.

Yang menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak adalah wewenang syara’ semata. Sebab, syara’ datang memang membawa masla­hat dan dialah yang menentukan/menyebutnya untuk manusia, karena yang dimaksud maslahat adalah kemaslahatan/kepentingan manusia itu sendiri sebagai makhluk. Bahkan yang dimaksud dengan maslahat bagi individu, adalah kemaslahatannya berkenaan dengan sifatnya sebagai “manusia”, bukan keberadaannya sebagai individu (pribadi). Memang, kemaslahatan dapat ditentukan berdasarkan syara’ atau berdasarkan akal manusia. Akan tetapi, jika akal manusia dibiarkan menentukannya sendiri, maka teramat sulit bagi manusia untuk menentu­kan hakekat kemaslahatan tersebut. Sebab, akal manusia memiliki kemam­puan yang terbatas. Ia tidak mampu menetapkan apa yang menjangkau dzat dan hakekatnya selaku manusia. Oleh karena itu, akal tidak akan mampu menentukan apa yang sebenarnya maslahat bagi manusia. Bagai­mana mungkin ia dapat menetapkan, sementara ia tidak mampu mengapre­siasi dirinya sendiri?

Hanya Allah-lah yang mampu menjangkau hakekat manusia, sebab Dialah yang menciptakan manusia. Oleh karena itu, hanya Dialah yang berhak menentukan apa-apa yang menjadi maslahat dan mafsadat bagi manusia secara rinci dan pasti.

Walaupun manusia dapat menduga apakah sesuatu itu mengandung manfaat atau mafsadat untuk dirinya, tetapi ia tidak mungkin menentukan dengan pasti dan rinci. Apabila kemaslahatan tergantung pada persang­kaan manusia, maka akan mengakibatkan terjerumusnya manusia itu ke dalam kebinasaan. Sebab kadang-kala manusia menyangka sesuatu itu mengandung maslahat, tetapi ternyata tidak demikian. Berarti ia telah menetapkan bahwa sesuatu itu mafsadat untuk manusia, sedang ia menganggapnya maslahat, sehingga terjerumuslah manusia ke dalam malapeteka. Demikian pula sebaliknya, kadangkala ia menyangka bahwa sesuatu itu adalah mafsadat, kemudian terbukti hal itu sebaliknya. Disini ia telah menjauhkan kemaslahatan dari diri manusia, karena ia mengang­gapnya sebagai mafsadat, sehingga ia ditimpa kemadlaratan karena men­jauhkan maslahat dari kehidupannya.

Begitu pula kadang-kadang hari ini akal manusia memandang atau memutuskan sesuatu itu maslahat, kemudian esok harinya menyatakan sebagai mafsadat. Atau sebaliknya, sekarang sesuatu dinyatakan sebagai mafsadat, esok harinya ia menyatakan sebagai maslahat. Berarti ia telah menetapkan bagi sesuatu itu mengandung maslahat sekaligus mafsadat. Hal ini tidak boleh dan tidak mungkin ada. Sebab segala sesuatu pada suatu kondisi hanya mempunyai satu kemungkinan, yaitu berupa mafsadat atau maslahat. Tidak mungkin keduanya berpadu dalam satu kondisi. Jika tidak, berarti maslahat yang ditentukannya bukan maslahat yang hakiki, tetapi maslahat sekedar dugaan (nisbi).

Dengan demikian maka wajib tidak membiarkan akal untuk menentukan apa sebenarnya yang dimaksud dengan maslahat, sebab yang berhak menentukannya adalah syara’. Syara’lah yang menentukan mana maslahat dan mana mafsadat yang sebenarnya (hakiki). Akal hanyalah memahami suatu kenyataan (kejadian) sebagaimana adanya (tanpa ditam­bah-tambah). Kemudian akal memahami pula nash-nash syar’iy yang ber­kaitan dengan kenyataan tersebut, lalu nash-nash itu diterapkan terhadap kenyataan. Jika telah diterapkan dan sesuai dengan pembahasan, maka dikatakan atau mafsadat berdasarkan nash-nash syar’iy. Apabila tidak sesuai dengan kenyataan tersebut, maka dicari nash yang mempunyai makna yang sesuai dengan kenyataan tersebut, agar ia mengetahui masla­hat yang telah ditetapkan oleh syara’, dengan memahami hukum Allah dalam masalah itu.

Jadi maslahat harus didasarkan pada syara’ , bukan pada akal. Ia senantiasa menyertai syara’. Dimana ada syara’, pasti ada maslahat. Sebab syara’lah yang menentukan kemaslahatan bagi mansusia selaku hamba Allah SWT. []

http://hizbut-tahrir.or.id

Add This!

Selasa, 06 April 2010

Hak Dan Kewajiban Warganegera Non-Muslim Dalam Khilafah Islam

Pengantar

Negara merupakan metamorfosis lanjutan dari suatu mujtama’ (masyarakat) yang memerlukan instrumen berupa UUD (dustûr) undang-undang (qânûn) yang bersifat memaksa dan mengikat bagi kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mewujudkan tercapainya keinginan-keinginan bersama, sehingga keinginan-keinginan tersebut tidak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, negara (dawlah) sebagai institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang telah diterima oleh sekelompok manusia (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 6) haruslah mampu menciptakan suasana kehidupan yang aman dan nyaman, sehingga setiap individu-individu warganegaranya benar-benar merasa berada dalam naungan sebuah otoritas (kekuasaan), seperti yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:

إِنَََّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي اْلأَرْضِ، يَأْوِي إِلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ مِنْ عِبَادِهِ

Sesungguhnya otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka bumi, dimana setiap orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi berlindung kepadanya.” (HR. Imam Baihaqi)

Telaah kitab dalam kesempatan kali ini akan mengkaji Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 5 yang berbunyi: “Setiap warganegara (Khilafah) Islam mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan syara’.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 23).

Muslim Bukan Syarat Warganegara

Tidak seperti ocehan provokatif yang dilontarkan oleh mereka yang membenci Islam dan kaum Muslim, bahwa Negara Khilafah-yang tidak lama lagi akan tegak kembali dengan izin Allah-akan memaksa dan membantai setiap non-Muslim yang ada di wilayahnya. Sungguh, ia merupakan ocehan yang sama sekali tidak bernilai. Sebab, Negara Khilafah tidak mensyaratkan warganegaranya haruslah Muslim, sebagaimana dalam pasal 5 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam.

Ada dua syarat di mana seseorang dapat dianggap sebagai warganegara Khilafah. Pertama, ia harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24). Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ar-Razi, sementara dari kalangan ulama kontemporer di antaranya adalah al-Maududi dan Sayyid Quthub (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hlm. 151). Kedua, ia harus loyal terhadap negara dan sistem (An-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 142).

Dalil untuk syarat yang pertama, yaitu harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah adalah: Pertama, firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (TQS. Al-Anfal [8] : 72)

Sayyid Quthub rahimahullah berkata: “Mereka-yakni orang-orang yang tidak berhijrah-tidak dianggap sebagai anggota masyarakat Islam; dan Allah tidak menjadikan untuk mereka hak mendapatkan pertolongan-apapun bentuknya-dari masyarakat Islam, sebab mereka secara riil bukan bagian dari masyarakat Islam. Dan bagi mereka berlaku firman Allah, “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka.” (Quthub, Fi Dzilâl al-Qur’an, 3/1.559).

Al-Maududi rahimahullah berkata: “Ayat ini menjelaskan dua asas warganegara: iman dan tinggal di Negara Islam, atau pindah ke Negara Islam. Apabila seseorang beriman, namun ia tidak meningalkan kewarnageraan Negara Kufur, yakni tidak berhijrah ke Negara Islam, dan tidak menetap di Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat Negara Islam. Adapun orang-orang yang beriman yang menetap di Negara Islam, sama saja apakah ia dilahirkan di Negara Islam, atau ia pindahan dari Negara Kufur, maka mereka dianggap bagian dari rakyat Negara Islam; mereka mendapatkan hak yang sama, serta wajib tolong-menolong dan lindung-melindungi di antara mereka.” (Al-Maududi, Tadwîn ad-Dustûr al-Islamiy, hlm. 56-57).

Kedua, sabda Rasulullah SAW., yang di antara adalah hadits dari Sulaiman bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ. وَلاَ يَكُونُ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ شَيْءٌ. إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ.

Serulah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin; dan jika mereka enggan untuk berpindah, maka sampaikan kepada mereka bahwa status mereka seperti status kaum Muslim yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (nomaden); bagi mereka berlaku hukum Allah yang berlaku bagi orang-orang yang beriman, namun mereka tidak berhak mendapatkan ghanîmah dan fai’ sedikitpun, kecuali mereka turut berjihad bersama kaum Muslim.” (HR. Muslim).

Hadits ini dengan jelas menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berpindah ke Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai warganegara Khilafah, akibatnya ia tidak memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama, seperti yang dimiliki oleh warganegara Khilafah Islam, sekalipun ia seorang Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Rasulullah SAW bersabda:

أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهَرِ المُشْرِكِيْنَ

Aku berlepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di antara komunitas kaum Musyrik.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW berlepas diri dari seorang Mulism yang hidup di Negara Kufur (Dârul Kufur), yang menjadikan statusnya tidak sama dengan status seorang Muslim yang hidup di Negara Islam (Dârul Islam). Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim yang hidup di Negara Kufur (Dârul Kufur) bukanlah rakyat Negara Islam (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hlm. 153).

Sedangkan dalil untuk syarat yang kedua, yaitu harus loyal terhadap negara dan sistem adalah fakta dalam watsîqah (piagam) Madinah, yang kemudian oleh Dr. Hasyim Yahya al-Mallah (2007:41) disebut dengan UUD Madinah (Dustûr al-Madinah), yang di antara isinya (butir ke-11) adalah “Setiap insiden atau perselisihan yang terjadia di antara pemilik piagam ini, yang dikhawatirkan dampak buruknya, maka keputusannya harus diserahkan kepada Allah SWT dan Muhammad SAW.” (Al-Buthi, Fiqh as-Sîrah, hlm. 205). Hal ini menunjukkan bahwa setiap warganegara Muslim dan non Muslim harus tunduk dan loyal dengan negara.

Maka, melalui uraian di atas, Muslim bukanlah syarat untuk menjadi warganegara Khilafah. Sehingga, seorang non-Muslim yang dengan rela tinggal di dalam Negara Islam, serta loyal terhada negara dan sistem, maka ia merupakan bagian dari warganegara Khilafah, yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama seperti halnya warganegara Khilafah yang lain dari kaum Muslim. Sebaliknya, seorang Muslim yang menetap di Negara Kufur, maka ia bukan bagian dari warganegara Khilafah, sehingga ia tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kaum Muslim yang menjadi warganegara Khilafah.

Hak Dan Kewajiban Warganegara non-Muslim

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi, yaitu setiap warganegara yang beragama selain Islam. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.

Warganegara non-Muslim berhak menjalankan keyakinan dan agama mereka; begitu juga dalam hal makanan dan pakaian, warganegara non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, selama masih dalam koridor peraturan umum (yakni selama masih dibenarkan oleh syariah Islam); serta berhak melakukan pernikahan dan perceraian di antara mereka berdasarkan ketentuan agama dan keyakinannya (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 145).

Dalil atas ketentuan di atas adalah firman Allah SWT:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Sementara, aturan-aturan lain yang digariskan syariah Islam, yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan lainnya, maka warganegara non-Muslim wajib terikat dengan hukum syariah Islam sama seperti warganegara Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 146).

Dasar atas ketentuan di atas adalah dalil-dalil umum yang mencakup semua warganegara, Muslim dan non Muslim, seperti perintah menghukum di antara manusia dengan adil (An-Nisa’ [4] : 58); Rasulullah pernah menghukum mati orang Yahudi karena membunuh seorang perempun (HR, Bukhari); Rasulullah pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi karena keduanya berzina (HR. Bukhari); dan banyak lagi lainnya, yang menunjukkan bahwa dalam hal ini tidak ada bedanya antara warganegara Muslim dan non-Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 25-26; Radhi, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah, hlm. 272-273).

Dengan melakukan kajian atas peraturan dan hukum-hukum Islam terhadap warganegara non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada warganegara non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Wallâh a’lam bish shawâb.

Daftar Bacaan

Al-Buthi, Dr. Muhammad Said Ramadhan, Fiqh as-Sîrah Dirâsât Manhajiyah li Sîrah al-Musthafa ‘Alaihis Salam (Beirut: Darul Fikr), 1990.

Al-Mallah, Dr. Hasyim Yahya, Hukûmatur Rasûl SAW Dirâsah Târikhiyah - Dustûriyah Muqâranah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Ctakan I, 2009.

Al-Maududi, Abul A’la, Tadwîn ad-Dustûr al-Islâmiy, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), 1980.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.

—–, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.

—–, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Quthub, Sayyid Quthub, Fi Dzilâl al-Qur’an, (Beirut: Darusy Syuruq), Cetakan IX, 1980.

Hizbut Tahrir Indonesia, “Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim,

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/08/perlakuan-negara-khilafah-terhadap-non-muslim/

Radhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah (Baghdad: Al-Jami’ah Al-Islamiyah), 2006.

Tubuliak, Sulaiman Muhammad, al-Ahkâm as-Siyâsiah lil Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Darun Nafa’is), Cetakan I, 1997.

http://hizbut-tahrir.or.id

Add This!

KIAT AGAR RIZKI HALAL, LANCAR DAN BERKAH

Pengusaha Rindu Syariah,
Seperti biasa agar asa selalu ada bergelora, kita mulai dengan … apa kabar hari ini? Alhamdulillah…Luar Biasa…Allahu Akbar!!! Alhamdulillah, tetap penuh syukur atas nikmat Iman, Islam dan predikat “Sebaik-baik Penciptaan” lengkap dengan seluruh potensi kehidupannya (QS. At Tin : 4). Luar Biasa, selalu penuh doa dan cita agar bisa mewujud diri menjadi Muslim Terbaik (QS. Al Fushilat : 33) dan membangkitkan umat menuju predikat Umat Terbaik (QS. Ali Imran : 110). Allahu Akbar, gelora penuh takbir karena semua ini terjadi atas izin-Nya. Jangan lupa, ketika menjawab lengkapi dengan ekspresi penuh semangat!

Pengusaha Rindu Syariah,
Rezeki banyak melimpah tidak sama konsepnya dengan rezeki yang halal dan berkah. Bisa jadi seseorang mempunyai rezeki yang banyak tetapi tidak terdapat keberkahan di dalamnya. Makna kata berkah sendiri berarti al-ziyadah yang artinya bertambah dan al-namaa’ yang artinya tumbuh berkembang. Menurut Imam Al Baghawy, yang dimaksud dengan barakah adalah tetapnya kebaikan ilahiy dalam sesuatu. Maka di dalam Islam rezeki yang diinginkan adalah rezeki yang bertambah dan mengandung kebaikan di dalamnya. Sehingga bisa kita katakan, kalau seseorang mempunyai rezeki yang berkah, maka rezekinya bertambah-tambah di dalamnya dengan terdapat pula banyak kebaikan yang tiada berkurang.

Adapun agar rezeki lancar , barokah dan halal sebagaimana tuntutan Rasulullah SAW Insya Allah sebagai berikut:
1. Menjauhi pekerjaan yang haram dan syubhat. Dalam arti kata taat kepadanya dan tidak melakukan dosa. Karena dosa menutup pintu rezeki. Rasulullah bersabda: “… dan seorang lelaki akan diharamkan baginya rezeki kerana dosa yang dibuatnya.” (Riwayat at-Tirmizi). Dekatkan diri kepada Allah dengan ibadah ma’dah tambahan seperti sholat Dhuha dan Tahajud
2. Bekerja sungguh-sungguh. Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (kelelahan) dalam mencari rizki yang halal.” (HR. Adailami)
3. Mengadukan masalah rezeki ini hanya kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa tertimpa kemiskinan, kemudian ia mengadukannya kepada sesama manusia, maka tidak akan tertutup kemiskinannya itu. Namun, siapa saja yang mengadukannya kepada Allah, maka Allah akan memberinya rizki, baik segera ataupun lambat.”[HR. Abu Dawud dan Turmidziy, Abu 'Isa berkata hadits ini hasan shahih gharib]
4. Banyak membaca istighfar Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa memperbanyak istighfar, maka Allah swt akan menjadikan setiap kesulitan kelapangan, dan setiap kesempitan jalan keluar, dan Allah akan memberinya rejeki dari jalan yang tidak pernah disangka-sangkanya.“ [HR. Imam Ahmad dalam Musnad]
5. Sabar dan banyak membaca la hawla wa la quwwata illa billah. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwasanya anak laki-laki ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy yang bernama Salim, telah ditawan oleh orang-orang musyrik. Kemudian, ia mendatangi Rasulullah saw dan mengadukan kesedihannya kepada Rasulullah, sambil berkata, “Sesungguhnya, musuh telah menawan anaknya, dan ibunya menjadi sangat sedih. Lantas, apa yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw menjawab, ” Bertaqwalah kepada Allah, bersabarlah, dan aku anjurkan agar kamu dan isterimu memperbanyak bacaan “La Haulah wa Laa Quwwata Illa bi al-Allah”. Lalu, ia kembali ke rumahnya dan berkata kepada isterinya,”Rasulullah saw telah memerintahkan aku dan kamu untuk memperbanyak bacaan “La Haulah wa Laa Quwwata Illa bi al-Allah”. Isterinya menjawab, “Baiklah.” Keduanya segera melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah saw. Akhirnya, anaknya berhasil meloloskan diri dari musuh, dan menggiring ternak-ternak mereka. Kemudian, ia membawa ternak-ternak itu di hadapan ayahnya. Jumlah ternak itu adalah 4000 ekor kambing, dan Rasulullah saw memberikan ternak itu kepadanya.[Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-Thalaq:3]
6. Tawwakal sepenuhnya kepada Allah SWT “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rejeki kepada kalian, sebagaimana Allah telah memberi rejeki kepada burung yang berangkat di pagi buta dengan perut kosong, dan kembali ke sarangnya dengan perut kenyang.”[HR. Bukhari]
7. Bershadaqahlah dan Nafkahkanlah harta tersebut kepada yang berhak. Rasulullah bersabda ”Ada tiga hal yang aku bersumpah kepadanya dan aku akan menyampaikan suatu berita kepadamu, maka perhatikan benar-benar. Tiadalah akan berkurang harta seseorang karena shadaqah….dan tiadalah seseorang membuka pintu meminta-minta melainkan Allah akan membukakan kepadanya pintu kemiskinan.”[HR. Turmudziyy] “Janganlah kamu menutup-nutupi apa yang kamu miliki, niscaya Allah akan menutupi rizkimu.” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Nafkahkanlah hartamu serta jangan kamu menghitung-hitungnya, maka Allah swt akan menghitung-hitungnya untukmu; dan janganlah kamu menakar-nakarnya, niscaya Allah Alah menakar-nakarnya untuk kamu.”[HR. Bukhari dan Muslim]
8. Tolonglah Agama Allah dengan menegakkan Syariat Islam secara kaffah. Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad ayat 7:” Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu“. Kiat yang terakhir inilah yang harus diperhatikan dengan serius oleh umat Islam pada saat sekarang ini. Islam sebagai jalan kehidupan tidak tegak di masyarakat kita pada saat ini dengan tidak adanya Daulah Islam sebagai wadah tegaknya Syariat Islam. Sehingga membuat sistem perekonomian yang dimana umat mencari rezeki pada saat sekarang ini merupakan sistem perekonomian yang tidak mendukung mereka untuk mendapatkan rezeki yang banyak, lancar dan barokah. Lihatlah bagaimana susahnya sebagian orang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi sehari, dan kemudian tidak lepasnya setiap usaha dari riba, sehingga untuk memastikan apakah harta yang kita cari pada saat sekarang ini berkah dan halal, sangatlah susah sekali.
Sebenarnya Allah tidak memerlukan pertolongan karena Allah Maha Kaya, tetapi itulah cara bagi kita untuk menolong diri kita sendiri, mari kita tolong Agama Allah, agar rezeki kita banyak, lancar, halal dan Berkah.
Wallahua’alam Bishawwab


Dr. Ardi Muluk
Kontributor Pengusaha Rindu Syariah Padang
www.amuluk.com

Catatan :
Hak cipta milik Allah Swt, karenanya jika dalam tulisan ini terdapat kebenaran dan kemaslahatan, maka dianjurkan untuk menyebarluaskannya sebagai amal jariyah. Tanpa perlu izin dari penulisnya. Jazakallahu