Laman

Jumat, 16 April 2010

Hukum Rokok

Tanya :

Ustadz, mohon penjelasan yang paling rajih tentang hukum merokok? (Afif, Amuntai. Rif'ah, Gresik)

Jawab :

Terdapat khilafiyah hukum rokok menjadi 3 (tiga) versi. Pertama, haram. Antara lain pendapat Muhammad bin Abdul Wahab, Abdul Aziz bin Baz, Yusuf Qaradhawi, Sayyid Sabiq, dan Mahmud Syaltut. Kedua, makruh. Antara lain pendapat Ibnu Abidin, Asy-Syarwani, Abu Sa’ud, dan Luknawi. Ketiga, mubah. Antara lain pendapat Syaukani, Taqiyuddin Nabhani, Abdul Ghani Nablusi, Ibnu Abidin, dan pengarang Ad-Durrul Mukhtar. (Wizarat al-Awqaf Al-Kuwaitiyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Juz 10, Bab "At-Tabghu"; Abdul Karim Nashr, Ad-Dukhan Ahkamuhu wa Adhraruhu, hal. 23; Ali Abdul Hamid, Hukm ad-Din fi al-Lihyah wa At-Tadkhin, hal. 42).

Menurut kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang memubahkan, kecuali bagi individu tertentu yang mengalami dharar (bahaya) tertentu, maka hukumnya menjadi haram bagi mereka.

Rokok hukum asalnya mubah, karena rokok termasuk benda (al-asy-ya`) yang dapat dihukumi kaidah fiqih Al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah maa lam yarid dalil at-tahrim (hukum asal benda mubah selama tak ada dalil yang mengharamkan). (Ibnu Hajar ‘Asqalani, Fathul Bari, 20/341; Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair, hal. 60; Syaukani, Nailul Authar, 12/443). Maka rokok mubah karena tak ada dalil khusus yang mengharamkan tembakau (at-tabghu; at-tanbak).

Namun bagi orang tertentu, rokok menjadi haram jika menimbulkan dharar (bahaya) tertentu, sedang rokok itu sendiri tetap mubah bagi selain mereka. Dalilnya kaidah fiqih Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idza kaana dhaarran aw mu`addiyan ilaa dhararin hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Setiap kasus dari sesuatu (benda/perbuatan) yang mubah, jika berbahaya atau mengantarkan pada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan sesuatu itu tetap mubah). (Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/457). Berdasarkan ini, rokok haram hanya bagi individu tertentu yang terkena bahaya tertentu, semisal kanker jantung atau paru-paru. Namun tak berarti rokok lalu haram seluruhnya, tetapi tetap mubah bagi selain mereka.

Kriteria bahaya yang menjadikan rokok haram ada 2 (dua). Pertama, jika mengakibatkan kematian atau dikhawatirkan mengakibatkan kematian. Bahaya semacam ini haram karena termasuk bunuh diri (QS An-Nisaa` : 29). Kedua, jika mengakibatkan seseorang tak mampu melaksanakan berbagai kewajiban, semisal bekerja, belajar, sholat, haji, jihad, berdakwah, dll. Bahaya ini diharamkan berdasar kaidah fiqih al-wasilah ila al-haram haram (Segala perantaraan yang mengantarkan pada yang haram, hukumnya haram). (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, 2/155).

Jika bahaya belum sampai pada kriteria di atas, maka rokok tetap mubah. Namun lebih baik meninggalkan rokok. Sebab merokok (tadkhin) dalam kondisi ini (tak menimbulkan kematian atau meninggalkan yang wajib), adalah tindakan menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh.

Dalilnya, Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bernadzar akan berdiri di terik matahari, dan tidak akan duduk, berbuka pada siang hari (berpuasa), berteduh, dan berbicara. Nabi SAW bersabda,"Perintahkan ia untuk berteduh, berbicara, dan duduk, namun ia boleh menyempurnakan puasanya." (HR Bukhari). Dalil ini menunjukkan larangan menimbulkan bahaya pada diri sendiri. Namun karena larangan ini tidak tegas (jazim), maka hukumnya makruh, bukan haram. (M. Husain Abdullah, ibid, 2/147). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 27 Maret 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Senin, 12 April 2010

Hukum Syara' Pasti Membawa Maslahat

HUKUM SYARA' PASTI MEMBAWA MASLAHAT

Allah SWT berfirman dalam kitabNya:


“(Dan) tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi seluruh umat manusia” (QS Al Anbiyaa’: 107).

Maksud ayat diatas adalah bahwa Rasulullah saw telah datang dengan membawa syariat yang mengandung manslahat bagi manusia.

Begitu pula Firman Allah SWT:

“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yunus: 57).


“Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuham-mu sebagai petunjuk dan rahmat” (QS Al An’aam: 157).

Maksud dari “petunjuk” dan “rahmat” dalam ayat diatas adalah dengan membawa manfaat bagi manusia atau menjauhkan kemadlaratan dari dirinya. Inilah yang disebut “maslahat”. Sebab, arti dari maslahat adalah membawa kemanfaatan dan mencegah kerusakan.

Yang menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak adalah wewenang syara’ semata. Sebab, syara’ datang memang membawa masla­hat dan dialah yang menentukan/menyebutnya untuk manusia, karena yang dimaksud maslahat adalah kemaslahatan/kepentingan manusia itu sendiri sebagai makhluk. Bahkan yang dimaksud dengan maslahat bagi individu, adalah kemaslahatannya berkenaan dengan sifatnya sebagai “manusia”, bukan keberadaannya sebagai individu (pribadi). Memang, kemaslahatan dapat ditentukan berdasarkan syara’ atau berdasarkan akal manusia. Akan tetapi, jika akal manusia dibiarkan menentukannya sendiri, maka teramat sulit bagi manusia untuk menentu­kan hakekat kemaslahatan tersebut. Sebab, akal manusia memiliki kemam­puan yang terbatas. Ia tidak mampu menetapkan apa yang menjangkau dzat dan hakekatnya selaku manusia. Oleh karena itu, akal tidak akan mampu menentukan apa yang sebenarnya maslahat bagi manusia. Bagai­mana mungkin ia dapat menetapkan, sementara ia tidak mampu mengapre­siasi dirinya sendiri?

Hanya Allah-lah yang mampu menjangkau hakekat manusia, sebab Dialah yang menciptakan manusia. Oleh karena itu, hanya Dialah yang berhak menentukan apa-apa yang menjadi maslahat dan mafsadat bagi manusia secara rinci dan pasti.

Walaupun manusia dapat menduga apakah sesuatu itu mengandung manfaat atau mafsadat untuk dirinya, tetapi ia tidak mungkin menentukan dengan pasti dan rinci. Apabila kemaslahatan tergantung pada persang­kaan manusia, maka akan mengakibatkan terjerumusnya manusia itu ke dalam kebinasaan. Sebab kadang-kala manusia menyangka sesuatu itu mengandung maslahat, tetapi ternyata tidak demikian. Berarti ia telah menetapkan bahwa sesuatu itu mafsadat untuk manusia, sedang ia menganggapnya maslahat, sehingga terjerumuslah manusia ke dalam malapeteka. Demikian pula sebaliknya, kadangkala ia menyangka bahwa sesuatu itu adalah mafsadat, kemudian terbukti hal itu sebaliknya. Disini ia telah menjauhkan kemaslahatan dari diri manusia, karena ia mengang­gapnya sebagai mafsadat, sehingga ia ditimpa kemadlaratan karena men­jauhkan maslahat dari kehidupannya.

Begitu pula kadang-kadang hari ini akal manusia memandang atau memutuskan sesuatu itu maslahat, kemudian esok harinya menyatakan sebagai mafsadat. Atau sebaliknya, sekarang sesuatu dinyatakan sebagai mafsadat, esok harinya ia menyatakan sebagai maslahat. Berarti ia telah menetapkan bagi sesuatu itu mengandung maslahat sekaligus mafsadat. Hal ini tidak boleh dan tidak mungkin ada. Sebab segala sesuatu pada suatu kondisi hanya mempunyai satu kemungkinan, yaitu berupa mafsadat atau maslahat. Tidak mungkin keduanya berpadu dalam satu kondisi. Jika tidak, berarti maslahat yang ditentukannya bukan maslahat yang hakiki, tetapi maslahat sekedar dugaan (nisbi).

Dengan demikian maka wajib tidak membiarkan akal untuk menentukan apa sebenarnya yang dimaksud dengan maslahat, sebab yang berhak menentukannya adalah syara’. Syara’lah yang menentukan mana maslahat dan mana mafsadat yang sebenarnya (hakiki). Akal hanyalah memahami suatu kenyataan (kejadian) sebagaimana adanya (tanpa ditam­bah-tambah). Kemudian akal memahami pula nash-nash syar’iy yang ber­kaitan dengan kenyataan tersebut, lalu nash-nash itu diterapkan terhadap kenyataan. Jika telah diterapkan dan sesuai dengan pembahasan, maka dikatakan atau mafsadat berdasarkan nash-nash syar’iy. Apabila tidak sesuai dengan kenyataan tersebut, maka dicari nash yang mempunyai makna yang sesuai dengan kenyataan tersebut, agar ia mengetahui masla­hat yang telah ditetapkan oleh syara’, dengan memahami hukum Allah dalam masalah itu.

Jadi maslahat harus didasarkan pada syara’ , bukan pada akal. Ia senantiasa menyertai syara’. Dimana ada syara’, pasti ada maslahat. Sebab syara’lah yang menentukan kemaslahatan bagi mansusia selaku hamba Allah SWT. []

http://hizbut-tahrir.or.id

Add This!

Selasa, 06 April 2010

Hak Dan Kewajiban Warganegera Non-Muslim Dalam Khilafah Islam

Pengantar

Negara merupakan metamorfosis lanjutan dari suatu mujtama’ (masyarakat) yang memerlukan instrumen berupa UUD (dustûr) undang-undang (qânûn) yang bersifat memaksa dan mengikat bagi kelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mewujudkan tercapainya keinginan-keinginan bersama, sehingga keinginan-keinginan tersebut tidak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, negara (dawlah) sebagai institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafâhîm), kriteria (maqâyis) dan keyakinan (qanâ’ât) yang telah diterima oleh sekelompok manusia (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 6) haruslah mampu menciptakan suasana kehidupan yang aman dan nyaman, sehingga setiap individu-individu warganegaranya benar-benar merasa berada dalam naungan sebuah otoritas (kekuasaan), seperti yang digambarkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:

إِنَََّ السُّلْطَانَ ظِلُّ اللَّهِ فِي اْلأَرْضِ، يَأْوِي إِلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ مِنْ عِبَادِهِ

Sesungguhnya otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka bumi, dimana setiap orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi berlindung kepadanya.” (HR. Imam Baihaqi)

Telaah kitab dalam kesempatan kali ini akan mengkaji Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 5 yang berbunyi: “Setiap warganegara (Khilafah) Islam mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan syara’.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 23).

Muslim Bukan Syarat Warganegara

Tidak seperti ocehan provokatif yang dilontarkan oleh mereka yang membenci Islam dan kaum Muslim, bahwa Negara Khilafah-yang tidak lama lagi akan tegak kembali dengan izin Allah-akan memaksa dan membantai setiap non-Muslim yang ada di wilayahnya. Sungguh, ia merupakan ocehan yang sama sekali tidak bernilai. Sebab, Negara Khilafah tidak mensyaratkan warganegaranya haruslah Muslim, sebagaimana dalam pasal 5 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam.

Ada dua syarat di mana seseorang dapat dianggap sebagai warganegara Khilafah. Pertama, ia harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24). Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ar-Razi, sementara dari kalangan ulama kontemporer di antaranya adalah al-Maududi dan Sayyid Quthub (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hlm. 151). Kedua, ia harus loyal terhadap negara dan sistem (An-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 142).

Dalil untuk syarat yang pertama, yaitu harus menetap di dalam wilayah Negara Khilafah adalah: Pertama, firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (TQS. Al-Anfal [8] : 72)

Sayyid Quthub rahimahullah berkata: “Mereka-yakni orang-orang yang tidak berhijrah-tidak dianggap sebagai anggota masyarakat Islam; dan Allah tidak menjadikan untuk mereka hak mendapatkan pertolongan-apapun bentuknya-dari masyarakat Islam, sebab mereka secara riil bukan bagian dari masyarakat Islam. Dan bagi mereka berlaku firman Allah, “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka.” (Quthub, Fi Dzilâl al-Qur’an, 3/1.559).

Al-Maududi rahimahullah berkata: “Ayat ini menjelaskan dua asas warganegara: iman dan tinggal di Negara Islam, atau pindah ke Negara Islam. Apabila seseorang beriman, namun ia tidak meningalkan kewarnageraan Negara Kufur, yakni tidak berhijrah ke Negara Islam, dan tidak menetap di Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat Negara Islam. Adapun orang-orang yang beriman yang menetap di Negara Islam, sama saja apakah ia dilahirkan di Negara Islam, atau ia pindahan dari Negara Kufur, maka mereka dianggap bagian dari rakyat Negara Islam; mereka mendapatkan hak yang sama, serta wajib tolong-menolong dan lindung-melindungi di antara mereka.” (Al-Maududi, Tadwîn ad-Dustûr al-Islamiy, hlm. 56-57).

Kedua, sabda Rasulullah SAW., yang di antara adalah hadits dari Sulaiman bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ، فَإِنْ أَبَوْا أنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ، يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ. وَلاَ يَكُونُ لَهُمْ فِي الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ شَيْءٌ. إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ.

Serulah mereka berpindah dari negerinya (Darul Kufur) ke Darul Muhajirin (Darul Islam), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin; dan jika mereka enggan untuk berpindah, maka sampaikan kepada mereka bahwa status mereka seperti status kaum Muslim yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (nomaden); bagi mereka berlaku hukum Allah yang berlaku bagi orang-orang yang beriman, namun mereka tidak berhak mendapatkan ghanîmah dan fai’ sedikitpun, kecuali mereka turut berjihad bersama kaum Muslim.” (HR. Muslim).

Hadits ini dengan jelas menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berpindah ke Negara Islam, maka ia tidak dianggap sebagai warganegara Khilafah, akibatnya ia tidak memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama, seperti yang dimiliki oleh warganegara Khilafah Islam, sekalipun ia seorang Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Rasulullah SAW bersabda:

أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهَرِ المُشْرِكِيْنَ

Aku berlepas diri dari seorang Muslim yang tinggal di antara komunitas kaum Musyrik.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW berlepas diri dari seorang Mulism yang hidup di Negara Kufur (Dârul Kufur), yang menjadikan statusnya tidak sama dengan status seorang Muslim yang hidup di Negara Islam (Dârul Islam). Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim yang hidup di Negara Kufur (Dârul Kufur) bukanlah rakyat Negara Islam (Tubuliak, al-Ahkâm as-Siyâsiah li al-Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, hlm. 153).

Sedangkan dalil untuk syarat yang kedua, yaitu harus loyal terhadap negara dan sistem adalah fakta dalam watsîqah (piagam) Madinah, yang kemudian oleh Dr. Hasyim Yahya al-Mallah (2007:41) disebut dengan UUD Madinah (Dustûr al-Madinah), yang di antara isinya (butir ke-11) adalah “Setiap insiden atau perselisihan yang terjadia di antara pemilik piagam ini, yang dikhawatirkan dampak buruknya, maka keputusannya harus diserahkan kepada Allah SWT dan Muhammad SAW.” (Al-Buthi, Fiqh as-Sîrah, hlm. 205). Hal ini menunjukkan bahwa setiap warganegara Muslim dan non Muslim harus tunduk dan loyal dengan negara.

Maka, melalui uraian di atas, Muslim bukanlah syarat untuk menjadi warganegara Khilafah. Sehingga, seorang non-Muslim yang dengan rela tinggal di dalam Negara Islam, serta loyal terhada negara dan sistem, maka ia merupakan bagian dari warganegara Khilafah, yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama seperti halnya warganegara Khilafah yang lain dari kaum Muslim. Sebaliknya, seorang Muslim yang menetap di Negara Kufur, maka ia bukan bagian dari warganegara Khilafah, sehingga ia tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti kaum Muslim yang menjadi warganegara Khilafah.

Hak Dan Kewajiban Warganegara non-Muslim

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi, yaitu setiap warganegara yang beragama selain Islam. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 24).

Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.

Warganegara non-Muslim berhak menjalankan keyakinan dan agama mereka; begitu juga dalam hal makanan dan pakaian, warganegara non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, selama masih dalam koridor peraturan umum (yakni selama masih dibenarkan oleh syariah Islam); serta berhak melakukan pernikahan dan perceraian di antara mereka berdasarkan ketentuan agama dan keyakinannya (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 145).

Dalil atas ketentuan di atas adalah firman Allah SWT:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Sementara, aturan-aturan lain yang digariskan syariah Islam, yang terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan lainnya, maka warganegara non-Muslim wajib terikat dengan hukum syariah Islam sama seperti warganegara Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 146).

Dasar atas ketentuan di atas adalah dalil-dalil umum yang mencakup semua warganegara, Muslim dan non Muslim, seperti perintah menghukum di antara manusia dengan adil (An-Nisa’ [4] : 58); Rasulullah pernah menghukum mati orang Yahudi karena membunuh seorang perempun (HR, Bukhari); Rasulullah pernah merajam laki-laki dan perempuan Yahudi karena keduanya berzina (HR. Bukhari); dan banyak lagi lainnya, yang menunjukkan bahwa dalam hal ini tidak ada bedanya antara warganegara Muslim dan non-Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 25-26; Radhi, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah, hlm. 272-273).

Dengan melakukan kajian atas peraturan dan hukum-hukum Islam terhadap warganegara non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada warganegara non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Wallâh a’lam bish shawâb.

Daftar Bacaan

Al-Buthi, Dr. Muhammad Said Ramadhan, Fiqh as-Sîrah Dirâsât Manhajiyah li Sîrah al-Musthafa ‘Alaihis Salam (Beirut: Darul Fikr), 1990.

Al-Mallah, Dr. Hasyim Yahya, Hukûmatur Rasûl SAW Dirâsah Târikhiyah - Dustûriyah Muqâranah (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Ctakan I, 2009.

Al-Maududi, Abul A’la, Tadwîn ad-Dustûr al-Islâmiy, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), 1980.

An-Nabhani, Taqiyuddin, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.

—–, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz II, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan V, 2003.

—–, Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Quthub, Sayyid Quthub, Fi Dzilâl al-Qur’an, (Beirut: Darusy Syuruq), Cetakan IX, 1980.

Hizbut Tahrir Indonesia, “Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim,

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/08/perlakuan-negara-khilafah-terhadap-non-muslim/

Radhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrîr Tsaqâfatuhu wa Manhâjuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyah (Baghdad: Al-Jami’ah Al-Islamiyah), 2006.

Tubuliak, Sulaiman Muhammad, al-Ahkâm as-Siyâsiah lil Aqalliyât al-Muslimah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Darun Nafa’is), Cetakan I, 1997.

http://hizbut-tahrir.or.id

Add This!

KIAT AGAR RIZKI HALAL, LANCAR DAN BERKAH

Pengusaha Rindu Syariah,
Seperti biasa agar asa selalu ada bergelora, kita mulai dengan … apa kabar hari ini? Alhamdulillah…Luar Biasa…Allahu Akbar!!! Alhamdulillah, tetap penuh syukur atas nikmat Iman, Islam dan predikat “Sebaik-baik Penciptaan” lengkap dengan seluruh potensi kehidupannya (QS. At Tin : 4). Luar Biasa, selalu penuh doa dan cita agar bisa mewujud diri menjadi Muslim Terbaik (QS. Al Fushilat : 33) dan membangkitkan umat menuju predikat Umat Terbaik (QS. Ali Imran : 110). Allahu Akbar, gelora penuh takbir karena semua ini terjadi atas izin-Nya. Jangan lupa, ketika menjawab lengkapi dengan ekspresi penuh semangat!

Pengusaha Rindu Syariah,
Rezeki banyak melimpah tidak sama konsepnya dengan rezeki yang halal dan berkah. Bisa jadi seseorang mempunyai rezeki yang banyak tetapi tidak terdapat keberkahan di dalamnya. Makna kata berkah sendiri berarti al-ziyadah yang artinya bertambah dan al-namaa’ yang artinya tumbuh berkembang. Menurut Imam Al Baghawy, yang dimaksud dengan barakah adalah tetapnya kebaikan ilahiy dalam sesuatu. Maka di dalam Islam rezeki yang diinginkan adalah rezeki yang bertambah dan mengandung kebaikan di dalamnya. Sehingga bisa kita katakan, kalau seseorang mempunyai rezeki yang berkah, maka rezekinya bertambah-tambah di dalamnya dengan terdapat pula banyak kebaikan yang tiada berkurang.

Adapun agar rezeki lancar , barokah dan halal sebagaimana tuntutan Rasulullah SAW Insya Allah sebagai berikut:
1. Menjauhi pekerjaan yang haram dan syubhat. Dalam arti kata taat kepadanya dan tidak melakukan dosa. Karena dosa menutup pintu rezeki. Rasulullah bersabda: “… dan seorang lelaki akan diharamkan baginya rezeki kerana dosa yang dibuatnya.” (Riwayat at-Tirmizi). Dekatkan diri kepada Allah dengan ibadah ma’dah tambahan seperti sholat Dhuha dan Tahajud
2. Bekerja sungguh-sungguh. Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (kelelahan) dalam mencari rizki yang halal.” (HR. Adailami)
3. Mengadukan masalah rezeki ini hanya kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Barangsiapa tertimpa kemiskinan, kemudian ia mengadukannya kepada sesama manusia, maka tidak akan tertutup kemiskinannya itu. Namun, siapa saja yang mengadukannya kepada Allah, maka Allah akan memberinya rizki, baik segera ataupun lambat.”[HR. Abu Dawud dan Turmidziy, Abu 'Isa berkata hadits ini hasan shahih gharib]
4. Banyak membaca istighfar Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa memperbanyak istighfar, maka Allah swt akan menjadikan setiap kesulitan kelapangan, dan setiap kesempitan jalan keluar, dan Allah akan memberinya rejeki dari jalan yang tidak pernah disangka-sangkanya.“ [HR. Imam Ahmad dalam Musnad]
5. Sabar dan banyak membaca la hawla wa la quwwata illa billah. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwasanya anak laki-laki ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy yang bernama Salim, telah ditawan oleh orang-orang musyrik. Kemudian, ia mendatangi Rasulullah saw dan mengadukan kesedihannya kepada Rasulullah, sambil berkata, “Sesungguhnya, musuh telah menawan anaknya, dan ibunya menjadi sangat sedih. Lantas, apa yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw menjawab, ” Bertaqwalah kepada Allah, bersabarlah, dan aku anjurkan agar kamu dan isterimu memperbanyak bacaan “La Haulah wa Laa Quwwata Illa bi al-Allah”. Lalu, ia kembali ke rumahnya dan berkata kepada isterinya,”Rasulullah saw telah memerintahkan aku dan kamu untuk memperbanyak bacaan “La Haulah wa Laa Quwwata Illa bi al-Allah”. Isterinya menjawab, “Baiklah.” Keduanya segera melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah saw. Akhirnya, anaknya berhasil meloloskan diri dari musuh, dan menggiring ternak-ternak mereka. Kemudian, ia membawa ternak-ternak itu di hadapan ayahnya. Jumlah ternak itu adalah 4000 ekor kambing, dan Rasulullah saw memberikan ternak itu kepadanya.[Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, surat al-Thalaq:3]
6. Tawwakal sepenuhnya kepada Allah SWT “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rejeki kepada kalian, sebagaimana Allah telah memberi rejeki kepada burung yang berangkat di pagi buta dengan perut kosong, dan kembali ke sarangnya dengan perut kenyang.”[HR. Bukhari]
7. Bershadaqahlah dan Nafkahkanlah harta tersebut kepada yang berhak. Rasulullah bersabda ”Ada tiga hal yang aku bersumpah kepadanya dan aku akan menyampaikan suatu berita kepadamu, maka perhatikan benar-benar. Tiadalah akan berkurang harta seseorang karena shadaqah….dan tiadalah seseorang membuka pintu meminta-minta melainkan Allah akan membukakan kepadanya pintu kemiskinan.”[HR. Turmudziyy] “Janganlah kamu menutup-nutupi apa yang kamu miliki, niscaya Allah akan menutupi rizkimu.” Dalam riwayat lain dinyatakan, “Nafkahkanlah hartamu serta jangan kamu menghitung-hitungnya, maka Allah swt akan menghitung-hitungnya untukmu; dan janganlah kamu menakar-nakarnya, niscaya Allah Alah menakar-nakarnya untuk kamu.”[HR. Bukhari dan Muslim]
8. Tolonglah Agama Allah dengan menegakkan Syariat Islam secara kaffah. Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad ayat 7:” Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu“. Kiat yang terakhir inilah yang harus diperhatikan dengan serius oleh umat Islam pada saat sekarang ini. Islam sebagai jalan kehidupan tidak tegak di masyarakat kita pada saat ini dengan tidak adanya Daulah Islam sebagai wadah tegaknya Syariat Islam. Sehingga membuat sistem perekonomian yang dimana umat mencari rezeki pada saat sekarang ini merupakan sistem perekonomian yang tidak mendukung mereka untuk mendapatkan rezeki yang banyak, lancar dan barokah. Lihatlah bagaimana susahnya sebagian orang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi sehari, dan kemudian tidak lepasnya setiap usaha dari riba, sehingga untuk memastikan apakah harta yang kita cari pada saat sekarang ini berkah dan halal, sangatlah susah sekali.
Sebenarnya Allah tidak memerlukan pertolongan karena Allah Maha Kaya, tetapi itulah cara bagi kita untuk menolong diri kita sendiri, mari kita tolong Agama Allah, agar rezeki kita banyak, lancar, halal dan Berkah.
Wallahua’alam Bishawwab


Dr. Ardi Muluk
Kontributor Pengusaha Rindu Syariah Padang
www.amuluk.com

Catatan :
Hak cipta milik Allah Swt, karenanya jika dalam tulisan ini terdapat kebenaran dan kemaslahatan, maka dianjurkan untuk menyebarluaskannya sebagai amal jariyah. Tanpa perlu izin dari penulisnya. Jazakallahu

Senin, 05 April 2010

Diktator Rusia dan Rezim Asia Tengah Berkumpul di Tashkent untuk Memerangi Hizbut Tahrir

Syabab.Com - Struktur Anti Teroris Regional Shanghai Cooperation Organisastion (SCO) menggelar pertemuan di ibukota Uzbek, Tashkent, pada hari Jumat, membahas upaya peningkatan dalam memerangi terorisme, demikian kepala delegasi Rusia mengatakan. Namun, mereka mengaku pertemuan itu ditujukan untuk memerangi gerakan Islam tanpa kekerasan yang gencar menyerukan penegakkan Khilafah, Hizbut Tahrir. Padahal gerakan ini telah dikenal luas sebagai partai Islam intelektual dan tanpa kekerasan dalam setiap metode perjuangannya.

Pertemuan ini akan berlangsung hanya beberapa hari saja setelah serangan yang menghantam kereta bawah tanah di Moskow dan kota Kizlyar di Kaukasus Utara Rusia republik Dagestan.

Pada hari Senin, ledakan kembar di stasiun Park Kultury dan Lubyanka pada pagi hari yang menewaskan 39 orang dan puluhan luka-luka. Dua ledakan di Kizlyar pada Rabu mengklaim 12 jiwa. Aksi kekerasan ini akhirnya menjadi dalih dan 'alasan empuk' bagi rezim setempat untuk memberangus gerakan-gerakan Islam, termasuk para pejuang Khilafah tanpa kekerasan.

Sergei Smirnov mengatakan peserta dalam pertemuan itu akan membicarakan pembentukan kelompok kerja ahli permanen, yang akan mengkoordinasikan upaya bersama oleh anggota SCO ditujukan untuk memerangi organisasi internasional Hizbut Tahrir.

Dia mengatakan, SCO akan membahas bantuan bersama ke Rusia dalam menjamin keamanan selama perayaan hari kemenangan pada tanggal 9 Mei. Kerjasama dengan regional lainnya dan organisasi internasional bertanggungjawab untuk memerangi terorisme dan ekstrimisme juga diharapkan akan dibahas, kata Smirnov.

Organisasi Kerjasama Shanghai terdiri dari Rusia, Cina, dan republik-republik bekas-Soviet Uzbekistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tadzhikistan.

Uzbekistan tempat berlangsung pertemuan tersebut telah dikenal rezimnya yang korup dan sangat aktif memerangi kaum Muslim. Di bawah kepemimpinan Yahudi Karimov, mereka tak segan-segan melakukan aksi teror terhadap kaum Muslim bahkan membunuhnya.

Tragedi Andijan, Mei 2005 lalu tak bisa terlupakan. Saat itu, ribuan kaum Muslim dibantai di bawah moncong senjata Karimov yang dibantu oleh tentara Rusia. Kebanyakan dari para korban itu adalah anggota dan para pendukung Khilafah dan Hizbut Tahrir.

Negara-negara di Asia Tengah benar-benar tak mampu menghadapi debat intelektual yang senantiasa diserukan oleh kelompok Hizbut Tahrir. Rezim korup negara-negara bekas Soviet tersebut di bawah baju "perang melawan terorisme" terus menerus melakukan penangkapan terhadap para pengemban dakwah yang ikhlas bekerja untuk memberikan solusi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal itu terus menerus terjadi hingga hari ini.

Bila kaum Muslim di Asia Tengah terus menerus diuji keimanannya dengan adanya perlawanan atas dakwah berupa penganiayaan, propaganda busuk dan pemboikotan, lalu atas alasan apa kaum Muslim di negeri Muslim terbesar di dunia ini malah berdiam diri bahkan mengkhianati perjuangan mereka dengan berjabat tangan dengan ide-ide demokrasi, ham dan kebebasan.

Sudah saatnya, kaum Muslim bersatu padu kembali mengambil Islam dan bersegera mewujudkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Rasyidah yang sesuai dengan metode kenabian yang pada saatnya tiba akan mengadili Rusia dan rezim negara-negara pecahan Uni Soviet atas tindakan brutalnya terhadap kaum Muslim. Insya Allah, Khilafah tersebut di depan mata. Allahu Akbar!! [m/f/rian.ru/syabab.com]

Ungkapan Hati

Puji syukur hanya milik Allah SWT... yang telah memberikan karunia yang begitu tiada pernah kita mampu untuk menghitungnya. Dibalik kelemahannya terkadang manusia menjadi sombong dan seakan tidak membutuhkan manusia lainnya bahkan tidak membutuhkan Allah SWT. Memang kesombongan selalu menjadikan manusia bersikap dan bertindak bodoh, sebagaimana iblis yang tidak mau sujud "hormat" kepada Nabi Adam ketika Allah SWT memerintahkan hal demikian, sehingga mengorbankan sesuatu yang lebih kekal yaitu alam akhirat.

Tatakala Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk mejalankan kewajiban dan meninggalkan keharaman, namun sebagian manusia selalu bersikap bodoh dan mengabaikannya. Padahal dengan itu semua agar hidup manusia menjadi tentram dan bahagia. Entah karena sombong, entah karena bodoh atau entah karena yang lainnya justru manusia seakan lebih nikmat hidup dengan aturan - aturan buatannya sendiri yang membawanya dalam kenestapaan yang berkelanjutan....