Laman

Sabtu, 08 Mei 2010

PENTINGNYA KEUTUHAN IDEOLOGI DALAM FORMALISASI SYARIAH ISLAM

PENTINGNYA KEUTUHAN IDEOLOGI DALAM FORMALISASI SYARIAH ISLAM

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Doktrin "Islam Substantif" : Penghambat Syariah

Salah satu hambatan besar penerapan syariah Islam adalah doktrin "Islam substanstif". Doktrin yang sengaja dilontarkan kaum liberal-sekular sejak abad ke-19 M ini mengatakan ajaran Islam dibedakan menjadi dua. Pertama, ajaran yang dianggap tetap dan universal, yang sering disebut dengan substansi (intisari). Fazlur Rahman menyebutnya "ideal moral". Kedua, ajaran yang dianggap temporal dan lokal, yang karenanya bisa berubah-ubah sesuai konteks waktu dan tempat. Bagian ajaran ini oleh Fazlur Rahman disebut ketentuan "legal spesifik". (Fazlur Rahman, 1992:21). Contohnya, hukum potong tangan. Susbtansi hukum ini, kata mereka, adalah agar menimbulkan efek jera. Potong tangan hanya dianggap ketentuan temporal, yang konon kebetulan cocok dengan masyarakat nomaden di masa Nabi SAW. Maka, hukum potong tangan bisa diganti hukuman penjara, karena konon yang penting adalah substansinya, yakni menimbulkan efek jera kepada pelakunya. (Mahmud dkk, 2005:184; Coulson, 1990:174; Watt, 1997:226).

Doktrin "Islam subtantif" ini sebenarnya bagian dari agenda "pembaruan" (modernisme) yang melanda Dunia Islam pada abad ke-19, dengan tokoh-tokoh awalnya seperti seperti Sayyid Ahmad Khan (w. 1898), Ameer Ali (w. 1928), dan Qasim Amin (w. 1908). Namun trend modernisme di Dunia Islam ini pun sebenarnya hanya kelanjutan dari trend modernisme sebelumnya yang terjadi di Barat. Baik di kalangan Yahudi dengan tokohnya semisal Steinheim (w. 1866) dan Holdheim (w. 1860), maupun di kalangan Kristen (Katolik/Protestan) dengan tokohnya semisal George Tyrell (w. 1909) dan August Spateah (w. 1901). (Said, 1995:99-126).

Apa gagasan dasar modernisme itu? Dalam Encyclopedia Americana (V/29) disebutkan bahwa modernisme adalah pandangan (visi) bahwa ajaran agama ortodoks harus ditafsirkan menggunakan pemahaman filsafat dan pemikiran kontemporer. Dengan kata lain, modernisme merupakan suatu usaha untuk menundukkan ajaran agama di bawah peradaban dan ideologi Barat (sekularisme). (Said, 1995:101). Jadi, ideologi Barat adalah standar yang tetap dan tidak berubah-ubah. Sementara ajaran agama (termasuk Islam) adalah variabel yang bisa berubah-ubah, yang harus ditundukkan dan disesuaikan dengan ideologi Barat itu.

Dengan demikian, nampak jelas terdapat benang merah antara doktrin "Islam substantif" dengan gagasan modernisme. Apa yang disebut substansi dalam doktrin "Islam substantif", sebenarnya hanya ungkapan halus atau ambigu untuk ideologi Barat, yang dijadikan standar baku untuk mengukur salah benarnya --atau relevan tidaknya-- ajaran/hukum Islam. Sedangkan apa yang disebut legal spesifik, sebenarnya adalah hukum Islam yang mestinya wajib diterapkan, tapi kemudian dijadikan objek permainan intelektual untuk dibongkar dan diubah-ubah agar sesuai dengan ideologi Barat.

Tujuan doktrin "Islam substantif" di satu sisi adalah untuk mementahkan dan melumpuhkan gagasan formalisasi Syariah (penerapan syariah oleh negara). Di sisi lain, doktrin itu bertujuan untuk melestarikan sistem kehidupan sekular yang dipaksakan oleh penguasa agen Barat di Dunia Islam saat ini.

Jadi, doktrin "Islam substantif" ini sungguh sangat jahat dan berbahaya, karena menjadi hambatan besar penerapan Syariah Islam. Perjuangan suci untuk melaksanakan formalisasi syariah itu, akan dimentahkan seenaknya dengan kalimat yang selalu nyaris klise. Misalnya, dikatakan bahwa yang penting bukanlah legal formal (penerapan syariah), melainkan substansi nilai-nilai Islam, seperti keadilan, persamaan, kemanusiaan, kedamaian, dan seterusnya. (Mas'ud, 2006:xv).

Implikasi doktrin "Islam substantif" tentu mudah ditebak. Kalau formalisasi syariah sudah dimentahkan, maka ujung-ujungnya adalah penolakan perlunya negara Khilafah yang berfungsi untuk melaksanakan formalisasi syariah secara utuh.

Perlunya Keutuhan Ideologi dalam Formalisasi Syariah

Seperti dijelaskan oleh Ustadz Ahmad Al-Mahmud dalam kitabnya Ad-Da'wah ila Al-Islam (1995:77), bahwa Barat telah melancarkan perang pemikiran (al-ghazw al-fikri) yang bertujuan untuk menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang sahih. Hasil dari serangan ini adalah umat Islam telah mentakwilkan Islam agar sesuai dengan pemikiran Barat yang lahir dari ide sekularisme.

Apa yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni gagasan "Islam substantif", merupakan contoh nyata dari bentuk perang pemikiran yang dimaksudkan Ustadz Ahmad Al-Mahmud tersebut. Untuk menghadapi serangan ini, menurut Ustadz Ahmad Al-Mahmud umat Islam perlu memahami ideologi Islam secara utuh, yaitu sebagai kesatuan yang tak terpisahkan yang tersusun dari fikrah (ide) dan thariqah (metode pelaksanaan ide). (Al-Mahmud, 1995:70-73).

Yang dimaksud dengan fikrah adalah Aqidah Islam, dan berbagai pemikiran dan hukum yang lahir dari Aqidah Islam itu. Misalnya hukum-hukum yang mengatur ibadah, muamalat, makanan, pakaian, dan akhlaq. Sedang thariqah, adalah hukum-hukum Islam yang berfungsi untuk mewujudkan, memelihara, atau menyebarkan thariqah fikrah itu. Contoh : Islam telah menerangkan bahwa zina hukumnya haram (fikrah) (QS Al-Isra` : 32). Namun tak sekedar menetapkan fikrah, Islam juga menetapkan thariqah agar zina benar-benar dapat dicegah, yaitu menetapkan hukuman cambuk bagi para pezina (QS An-Nuur : 2), dan menentukan pelaksana hukuman ini adalah Imam (Khalifah). Islam telah menetapkan sholat itu hukumnya wajib (fikrah). Tak hanya menetapkan fikrah, Islam juga menetapkan hukuman oleh negara bagi orang yang tidak melaksanakan sholat (thariqah). Islam juga telah menetapkan mencuri itu hukumnya haram (fikrah), dan sekaligus menetapkan thariqah untuk mewujudkan fikrah itu, yaitu hukuman potong tangan yang akan dijalankan oleh negara (QS Al-Maidah : 38). Ringkasnya, setiap ada suatu hukum yang ditetapkan Islam, Islam juga menetapkan hukum lain sebagai metode pelaksanaannya (thariqah at-tanfidz) serta menetapkan Imam (Khalifah) adalah pemilik wewenang dalam pelaksanaannya dalam sebagian besar kasus. (Al-Mahmud, 1995:72-73).

Konstruksi ideologi Islam yang utuh sebagai fikrah dan thariqah ini, mutlak diperlukan sebagai upaya untuk menghadang serangan perang pemikiran yang dilancarkan Barat, seperti doktrin "Islam substantif". Doktrin palsu ini jelas bertujuan untuk menghancurkan ideologi Islam, dengan cara mereduksi total ajaran Islam hanya sebatas fikrah, seraya menghapuskan atau mengubah thariqah dengan dalih tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Artinya, doktrin ini mengubah thariqah agar sesuai dengan sistem sekular yang sedang diterapkan. Hukum potong tangan, misalnya, dianggap kejam dan biadab, sehingga boleh saja diganti dengan penjara atau denda finansial. Jihad sebagai upaya penyebaran Islam, dianggap tak relevan lagi, sehingga boleh saja diganti dengan upaya dakwah lewat radio dan televisi. Negara Khilafah juga dianggap ketinggalan zaman, dan bisa diganti dengan sistem republik. Karena yang penting katanya adalah penerapan nilai-nilai Islam, dan seterusnya. (Al-Mahmud, 1995:72-73).

Itu adalah contoh-contoh yang menunjukkan, ketika ideologi Islam hanya dipahami sebatas fikrah saja, dengan menghapus atau mengubah thariqah-nya, maka formalisasi syariah akan menjadi tidak mungkin atau minimal cacat. Jelaslah bahwa formalisasi syariah harus berbekal pemahaman ideologi Islam yang utuh, baik fikrah maupun thariqah-nya.

Selain itu, ide "Islam substantif" yang menghambat penerapan Syariah harus dijelaskan pula kekeliruannya. Apa yang diajarkan doktrin ini bahwa hukum Islam dapat berubah-ubah sesuai waktu dan tempat, adalah jauh dari kebenaran, seperti jauhnya bumi dan langit. Kaidah "laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyur az-zaman wa al-makan" (tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat), merupakan kaidah yang keliru, yang dirumuskan ketika umat Islam mengalami kemerosotan pemikiran yang paling parah pada abad ke-19.

Dalam konteks inilah, Imam Ibnu Hazm menegaskan, "Jika terdapat nash Al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah tetap dalam urusan tertentu yang hukumnya tertentu pula, maka yang benar adalah, nash itu tidak terpengaruh oleh pergantian tempat maupun perubahan keadaan. Sesungguhnya apa yang telah tetap itu, akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat, dan setiap keadaan, sampai ada nash lain yang datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu yang lain, tempat yang lain, dan keadaan yang lain pula." (Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, 5/771).

Perlunya Negara Khilafah dalam Formalisasi Syariah

Formalisasi syariah artinya penerapan syariah oleh negara. Istilah teknisnya dalam fiqih adalah tabanni al-ahkam, atau sann al-qawanin, atau taqnin al-syariah (Arifin, 1996:49; Mufti & Al-Wakil, 1992:40).

Kesadaran umat Islam di berbagai negeri Dunia Islam untuk melakukan formalisasi syariah sebenarnya cukup signifikan. (Amal & Panggabean, 2004). Namun, sering kali upaya ini menghadapi hambatan atau tantangan, misalnya kekhawatiran kaum liberal terhadap Syariah (Nashir, 2007: 598), atau ketidakjelasan model negara seperti apa yang dapat diharapkan melakukan formalisasi syariah. (Al-Jufri dkk, 2004).

Padahal, sudah jelas, negara bangsa (nation state) saat ini tidak mungkin diharapkan menjalankan formalisasi syariah. Sebab negara bangsa didirikan atas dasar ideologi sekularisme, yang tidak mentolerir formalisasi hukum Islam, kecuali secara parsial saja, seperti hukum perkawinan, perceraian, dan waris. Untuk kasus Indonesia, formalisasi syariah seutuhnya adalah mustahil, karena Indonesia menganut sistem hukum campuran (baca : sistem syirik), yang terdiri dari sistem hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat. (Rofiq, 2001:174).

Satu-satunya model negara yang layak untuk formalisasi syariah hanyalah Khilafah (Imamah) di bawah pimpinan Khalifah, bukan yang lain. Banyak ulama yang telah menegaskan keniscayaan ini.

Mahmud Al-Khalidi, misalnya, setelah menjelaskan wajibnya beberapa hukum seperti shalat, puasa, dan haji, menegaskan,"Karena itu, mengangkat seorang Khalifah atas umat ini adalah kewajiban yang mengikat, untuk menerapkan hukum-hukum syariah atas kaum muslimin dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia." (Mahmud Al-Khalidi, Qawa'id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 249)

Dhiyauddin Ar-Rais dalam kitabnya Al-Islam wal Khilafah hal. 99 menegaskan,"Syariat Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah salah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan ia merupakan kewajiban terbesar (al-fardhu al-a'zham). Karena di atas kekhilafahan-lah bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya."

Jelaslah, formalisasi syariah yang seutuhnya perlu negara. Dan negara yang dimaksud tentu bukanlah sembarang negara, apalagi negara sembarangan, seperti model nation state saat ini yang merupakan hasil rekayasa penjajah yang kafir. Yang dimaksud, tentu negara Khilafah saja, bukan yang lain. Wallahu a'lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jufri, Salim Segaf dkk., 2004, Penerapan Syariat Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, (Jakarta : Global Media Publishing & Pusat Konsultasi Syariah).

Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da'wah ila Al-Islam, (Beirut : Daul Ummah).

Arifin, Busthanul, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan, dan Prosesnya, (Jakarta : Gema Insani Press).

Amal, Taufik Adnan & Panggabean, Samsu Rizal, 2004, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta : Pustaka Alvabet).

Coulson, Noel J, 1990, "Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam", dalam Ahmad Ibrahim dkk, Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES).

Fazlur Rahman, 1992, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, (Bandung : Mizan).

Mahmud, Adnan dkk, 2005, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar).

Mas'ud, Abdurrahman, 2006, dalam Suyuthi Pulungan dkk, Negara Bangsa Versus Negara Syariah, (Yogyakarta : Gama Media).

Nashir, Haedar, 2007, Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta : PSAP).

Rofiq, Ahmad, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media).

Said, Busthami Muhammad, 1995, Gerakan Pembaruan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : Wala Pess).

Watt, William Montgomery, 1997, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism & Modernity), Penerjemah Taufik Adnan Amal, (Jakarta : RajaGrafindo Persada).

MELUNASI UTANG DENGAN TAMBAHAN TANPA DISYARATKAN DI AKAD

MELUNASI UTANG DENGAN TAMBAHAN TANPA DISYARATKAN DI AKAD

Tanya :

bolehkah kita melunasi utang dengan memberikan tambahan uang tertentu, sebagai hadiah tanpa kita syaratkan di saat akad? Benarkah itu dibolehkan berdasar hadis,”Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya”? (Eri M, Yogyakarta)

Jawab :

Jika seseorang memberikan pinjaman (qardh) kepada orang lain dan mensyaratkan tambahan pada saat akad, tambahan ini hukumnya haram karena termasuk riba. Semua ulama sepakat akan keharamannya tanpa perbedaan pendapat. (Taqiyyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/343). Ibnu Qayyim berkata,”Riba ini disepakati keharaman dan kebatilannya. Keharamannya sudah diketahui dalam agama Islam seperti haramnya zina dan mencuri.” (Ighatsah al-Lahfan, 2/10). Ibnu Mundzir berkata,”Para ulama sepakat jika pemberi pinjaman mensyaratkan kepada peminjam tambahan atau hadiah…maka tambahan yang diambil itu adalah riba.” (Al-Ijma’, hal. 39).
Namun jika tambahan itu tak disyaratkan dalam akad, ada beda pendapat. Menurut Imam an-Nabhani, jika tambahan itu diberikan sebagai hadiah, hukumnya dirinci. Jika peminjam sudah biasa memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, hukumnya boleh. Tapi jika tidak biasa, hukumnya haram. (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/343).

Dalilnya hadis dari Anas RA, dia berkata,”Seorang lelaki dari kami bertanya dia pernah memberi pinjaman (qardh) kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepadanya. Maka Anas RA berkata,’Nabi SAW bersabda,’ Jika salah seorang kamu memberikan pinjaman lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan di atas kendaraan, janganlah dia menaiki kendaraan itu dan jangan pula menerima hadiah itu, kecuali itu sudah pernah terjadi sebelumnya antara dia [pemberi pinjaman] dan dia [peminjam].” (HR Ibnu Majah). (Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/341)
.
Sedangkan hadis,”Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya.” (HR Bukhari no 2306; Muslim no 1600), para ulama berbeda pendapat apakah dapat dijadikan dalil membolehkan tambahan atas utang tanpa disyarakan di akad. Sebagian ulama membolehkan, jika tambahan itu berasal dari inisiatif pihak yang meminjam. (Lihat Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Islamiyah, 2/414).

Namun sebagian ulama seperti Imam Taqiyuddin An-Nabhani tetap tak membolehkan. Pendapat ini lebih rajih (kuat) karena lebih sesuai dengan topik atau latar belakang hadis, yaitu Nabi SAW ditagih seseorang yang memberi pinjaman seekor unta kepada Nabi SAW. Beliau lalu menyuruh sahabat membelikan unta, tapi tak didapat kecuali unta yang lebih baik (lebih tua). Nabi SAW pun bersabda,”Belilah unta itu dan berikan kepadanya sebab sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya.” (HR Bukhari no 2306). Jadi, menurut Imam An-Nabhani, topik hadis ini adalah pelunasan utang yang baik (as-sadad al hasan), bukan pemberian tambahan dari jumlah utang yang dipinjam (ziyadah ‘amma ustuqridho). Yang terjadi adalah bertambahnya kualitas, bukan kuantitas.(Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/343).

Maka hadis ini tidak tepat dijadikan dalil untuk membolehkan tambahan dalam melunasi utang tanpa disyaratkan di akad. Jadi tambahan ini tetap haram kecuali jika peminjam sudah terbiasa memberi hadiah kepada pemberi peminjam. Wallahu a’lam. [ ]

Pangkalan Bun, 14 Maret 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

HUKUM ARAH KIBLAT

HUKUM ARAH KIBLAT

View Full Size ImageTanya :

Ustadz, benarkah arah kiblat telah bergeser? Sahkah sholat kita sementara kita belum tahu pergeseran arah kiblat itu? (Sukiyono, Pekanbaru)

Jawab :

Memang terjadi pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran arah kiblat hingga 30 cm ke arah kanan seperti diberitakan, menurut pakar astronomi ITB Dr. Moedji Raharto, hanya mengubah arah kiblat kurang dari sepersejuta derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.

Namun harus diakui banyak masjid yang arah kiblatnya kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah kiblat, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak akurat, atau sekedar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.

Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi orang yang shalat. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal. 51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Imam Ibnu Hazm berkata,"Para ulama sepakat menghadap kiblat wajib bagi yang melihat ka’bah atau yang mengetahui petunjuk-petunjuk arah kiblat, selama ia bukan orang yang berperang (muharib) atau orang yang sedang ketakutan (kha`if) [karena perang]." (Maratibul Ijma’, hal. 11).

Kewajiban menghadap kiblat dalilnya firman Allah (artinya),"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS Al-Baqarah : 144). Dalil as-Sunnah sabda Nabi SAW,"Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudhu lalu menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah." (HR Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,"Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya meninggalkan arah kiblat pada shalat wajib. Ini merupakan ijma’ tapi ada rukhsah dalam kondisi ketakutan yang sangat [karena perang]." (Fathul Bari, 1/501).

Bagi orang yang dapat melihat Ka’bah, arah kiblatnya adalah bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Dalilnya firman Allah SWT (artinya) : "Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram." (QS al-Baqarah : 149). Imam Qurthubi berkata,"Ayat ini berlaku untuk orang yang melihat Ka’bah." (Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i berkata,"Orang Makkah yang dapat melihat Ka’bah, harus tepat menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ainul bait)." (Al-Umm, 1/114).

Sedang bagi orang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah (‘ainul ka’bah), yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah (jihatul ka’bah), tidak harus tepat/eksak ke arah bangunan Ka’bah. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i (dalam salah satu riwayat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 366).

Dalilnya sabda Nabi SAW,"Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat." (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi). Imam Shan’ani menjelaskan,"Hadis ini menunjukkan yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), bukan menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah), yakni bagi orang yang tidak dapat melihat bangunan Ka’bah." (Subulus Salam, 1/134).

Dengan demikian, bagi penduduk Indonesia yang berada di sebelah timur Masjidil Haram, pada dasarnya cukup menghadap arah Ka’bah (jihat ka’bah), yaitu ke arah Barat. Menurut kami ini sudah cukup dan sudah sah shalatnya. Kalaupun melenceng beberapa derajat, menurut kami itu dapat dimaafkan, selama masih mengarah ke Barat. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa yang mendekati sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Said al-Burnu, Mausu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, 9/252). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 25 April 2010

Muhammad Shiddiq Al-Jawi